Rabu, 24 September 2008

DEMONSTRAN, SEBUAH OBSESI


Di atas atap Bis, kami berteriak sambil serempak menyanyikan yel-yel penyemangat, “Permisi-permisi kami mau lewat, kalau enggak dikasih urusan bisa gawat.”


Itu terjadi tiga tahun yang lalu, saat aku melepas kostum celana abu-abu (seragam SMA). Terngiang dalam hatiku bahwa aku akan menjadi siswa yang tertinggi, yang bernama Mahasiswa. Saat itu juga perang batinku membayangi apa itu mahasiswa dan mau melakukan apa ketika aku nanti menjadi mahasiswa. Gembira sekali dan tak sabar lagi, aku ingin cepat-cepat mengenakan predikat agent of change dan social control. Indah nian ketika aku bebas dari aturan yang selama ini meng-cut kebebasanku berekpresi, terutama bebas dari seragam yang telah 12 tahun menggerogoti, memaksa aku tunduk untuk mengenakannya semenjak SD (Sekolah Dasar).

Aturan yang aku rasa melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) tersebut sangat membunuh kreativitasku. Baju harus dimasukan kedalam celana dibarengi ikat pinggang. Pada suatu waktu,dimasa SD doeloe aku dan dua temankutidak memasukkan baju kedalam celana. Tanpa ampun tiba-tiba ada seorang guru yang “rese” langsung menyeret kami ke depan kelas. Kami ditelanjangi di depan teman-teman sekelas, miris yang menggerigis.

Cukup sudah konstitusi itu mengungkungku. Dan tidak heran aku begitu sumringah ketika memasuki dunia kampus. Tergambar olehku saat itu, mahasiswa adalah manusia yang penuh kharisma. Bisa berkoar mengkritisi kebijakan penguasa dan pengusaha. Demonstrasi, ya! satu obsesi ku waktu itu, ingin berdemo menentang segala kebiadaban aparat dan birokrat. kini, hal itu sudah ku jalani, waktu semester satu demo menjadi tradisi, baik dengan issu lokal maupun nasional. Kesan terindah waktu aku berkesempatan untuk berunjuk rasa -aksi damai- menentang kebijakan presiden SBY menaikan BBM pada tahun 2005 di bundaran HI, Istana hingga gedung MPR/DPR RI Jakarta.

Gegap gempita aku rasakan ketika naik di atas Bis, membawa bendera almamater kampusku, IAIN “SMH” Banten. Aku duduk-berdiri di atap Bis Berbaur dengan Mahasiswa yang mengenakan almamater kuning, perwakilan dari kampus UI.

Di atas atap Bis, kami berteriak sambil serempak menyanyikan yel-yel penyemangat, “Permisi-permisi kami mau lewat, kalau enggak dikasih urusan bisa gawat.” Obsesi untuk menjadi pendemo telah aku sandang meskipun tidak senakal dan seganas Soe Hok Gie dan Hariman Siregar sehingga malahirkan Tragedi ‘malari’. Itu cukup jadi ingatan walau belum seberapa..

Sekarang aku menginjak semester tujuh, kadang aku hanya bisa tersenyum dan nyengir jika mengenang obsesi anehku saat itu. Juga bisa mengerutkan dahiku jika melihat Indek Prestasiku saat itu kurang dari tiga. heheey…tapi tidak mengapa! Setidaknya batinku puas bisa mengepalkan tangan kiri tanda perlawanan kepada penguasa yang otoriter dan bisa berteriak lantang mengutuk kebejatan mereka yang tidak membesarkan kemaluan nya (tidak malu) mengindahkan amanat penderitaan rakyat.

Bukankah founding father, Bung Karno telah mencontohkan kegigihannya, kepintarannya dalam menyusun strategi demi memerdekakan bangsa ini? Sang Proklamator pernah berkata “aku akan bekerjasama kepada siapa saja, meskipun kepada setan terkutuk sekalipun asal bisa menjamin membebaskan negeriku dari cengkaraman penjajah.” Semangat itulah yang mendorong aku untuk tetap bangga sebagai anak Indonesia dan berupaya membangun dan menjaganya dari tidak-tanduk edan para penghianat Bangsa.

Salam Pemikir-Pejuang, Pejuang-Pemikir

  • Tulisan ini hanyalah gejolak penulis, emosi aneh yang membahana.

Tidak ada komentar: