Jumat, 14 Januari 2011

Tragedi MALARI, Peringatan Sejarah

“Mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang progressif-revolusioner, mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang menyuarakan suara rakyat.” (Bung Karno)
Hari ini (15/1), 37 tahun yang silam, terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka Januari) yang dilukiskan oleh sejarawan Australia M.C. Ricklefs sebagai "salah satu huru-hara paling buruk di ibu kota sejak jatuhnya Soekarno".
Pada 37 tahun yang lalu, di awal pemerintahan Soeharto, tepatnya pada tanggal 15 Januari 1974, mahasiswa menunjukkan keprihatinan atas kondisi perekonomian bangsa. Penanaman Modal Asing (PMA) sangat berlebihan sehingga investor asing sangat mendominasi perekonomian bangsa. Puncaknya adalah dengan peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari), ketika Hariman Siregar sebagai ketua Dewan Mahasiswa UI (1973-1974) memimpin aksi pengepungan di Bandara Halim Perdana Kusuma. Peristiwa itu sebagai bentuk penyambutan kedatangan PM Jepang Tanaka Kakukei yang berkunjung pada 14-17 Januari ke Indonesia.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Malapetaka 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Semoga sejarah Tragedi paling parah pasca lengsernya Bung Karno itu bisa memberi sedikit peringatan kepada rezim pemerintah pusat dan rezim pemerintah daerah untuk lebih ‘waspada’ atau ‘stop’ menjalankan Virus Drakula Neolib yang menghisap darah segar rakyat pribumi itu. Karena sejarah mungkin berulang!
Keberanian aktivis Hariman Siregar, dkk merangsang libido spirit gerakan untuk lebih progressif-revolusioner agar mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control tak hanya menjadi jargon belaka.
Merdeka!