Selasa, 12 Agustus 2008

Hasrat “Membabi Buta”


Masa lalu tak harus jadi ingatan, tapi ada seorang “gadis manis” bilang kepadaku bahwa hari ini adalah bagian dari masa lalu. Saat berbicara doeloe atau dengan kata kiasan zaman firaun ngojek atau zaman sumpah palapah, aku sering tertawa sendiri. Bagaimana perkembanganku waktu kecil dimanjai dengan seragam aparat hukum oleh bapakku –dari seragam polisi, angkatan laut sampai Abri- itu wajar saja karena doeloe saat kecil, ketika ditanya oleh sanak keluarga, aku selalu bilang ingin menjadi ABRI karena ingin punya tembakan. Untuk saat ini, jujur aku sulit untuk berbicara masa depan. Masa yang belum jelas kejadiaanya. Apakah mungkin seorang anak nelayan biasa yang berasal dari pesisir kepulauan Bangka Belitung, tepatnya di desa Tanjung Sangkar -Lepar Pongok ( Bangka- Selatan ) mampu jadi kebanggaan tanah leluhur?
Tanya ini sering jadi lamunanku saat menjelang tidur. Apa mampu? Akankah malu yang diterima jika semua jadi semu. Atau hanya menjadi penyesalan yang tiada akhir? kesuksesan tidak dinilai dari keberhasilan tapi bagaimana prosesnya, begitu kata yang pernah aku dengar dari seorang teman. Banyak sudah energi yang ku habiskan dalam berproses. Demi kelangsungan hobiku yang doyan dunia politik, aku berproses aktif disalah satu organisasi yang beasaskan Marhaen Bung Karno, yaitu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). atau mengingat hobiku yang sering berlama-lamaan hanya sekedar nongkrong rutin di kantin kampus, untuk mencari issu berita demi almamater yang aku sandang sebagai insan jurnalis kampus.
Keaktifan aku di salah satu gerakan mahasiswa demi hasrat yang ingin menjadi pengambil kebijakan di daerah asalku atau setidaknya belajar jadi pemimpin dengan berorganisasi. Tapi ada tekad besarku “membabi buta” menjadi jurnalis handal atau penulis lepas yang mencerdaskan. Aku sadar bahwa tulisanku jauh dari paripurna (mungkin membosankan pembaca). Mengasah tulisan agar berkembang demi kualitas diri yang telah memilih menjadi penulis merupakan program prioritasku. meski aku tahu belum ada karya yang berarti yang telah aku persembahkan.(heeheeeeeeey).
Sering aku berkhayal, indahnya dunia jika suatu saat nanti (entah kapan) karyaku menjadi best seller selalu ditunggu-tungu oleh pembaca. Tulisan yang merangsang pembaca untuk berempati dengan koar yang ku tuangkan. Undangan numpuk untuk diminta mengisi pelatihan atau seminar. Wah sungguh khayalan tingkat tinggi yang sulit untuk ku gapai.
Ketakutan terus membayagiku. dia mengejar, menghimpit dan terus mengikuti kemana aku melangkah. Kadang bayangan itu mengancam jika aku terlena tanpa kegiatan apapun. Meskipun hanya Ancaman halusinasi tapi ancaman itu keras dan ganas. Sesuatu malapetaka besar-melebihi tragedi bintaro atau tsunami aceh- akan datang jika aku gagal. Kadang halusinasi itu memberi motivasi tepat waktu ketika kondisiku sedang labil alias mumet.
Ada seorang teman karib dari seberang sana (teman SMP). Dia selalu bertanya ‘Joe kapan jadi wartawan beneran?- pertanyaannya sempat membuat aku sesak, pertanyaan itu sering menjadi kata pengantar ketika dia menelponku-karena dia tahu kalau aku aktif di pers kampus, LPM SiGMA- aku jawab dengan sekena ku, “ini dah jadi wartawan, wartawan kampus…” heheey. Diapun ikut tertawa. Meskipun aku tidak tahu itu tipe ketawa ngejek atau ketawa kekecewaan.
Kapan aku bisa duduk sama rata berdiri sama tinggi, sejajar satu meja –dengan yang lain-untuk mengupas dan mengulas issu. Menjadi jurnalis professional?

09/08/08/ 14: 22

Tidak ada komentar: