Selasa, 15 Juli 2008

Pengolaan Migas Masa Soekarno


Tulisan ini sedikit nostalgia kepada founding father "Soekarno" yang keras terhadap imprialisme, tegas dalam setiap tindakan dan marah jika harga diri bangsa terkoyakkan. bapak bangsa!dan kita sekarang menginjak pada zaman "Reformasi" ada yang bilang "Era Setengah hati" penuh duri, menusuk pelan tapi pasti menghujam dengan tajam. sebelum itu ada yang namanya Orde baru, sebuah orde yang berkuasa selama 32 tahun. Selama itu pula, berbagai cerita sukses dan masa kejayaan Indonesia dimasa lalu dicoret dari buku-buku sejarah, termasuk soal cerita sukses pengelolaan migas di era “Bung Karno”. Kesuksesan Bung Karno dalam tata kelolah migas bukan saja terletak pada besarnya keuntungan dari migas yang mengalir kekantong negara, tetapi juga terlihat pada begitu berdaulatnya pemerintah Indonesia dihadapan korporasi-korporasi asing (Stanvac, Shell, dan Caltex). Kemajuan terbesar dari tata kelola migas yang “berdikari” dimasa itu adalah kemajuan di sektor pendidikan. Pada tahun 1950, orang yang bisa baca-tulis diperkirakan 10% dan diperkirakan terdapat 230 orang Indonesia yang memiliki pendidikan lanjutan (setingkat SMU) lulusan lembaga-lembaga pendidikan kecil yang didirikan Belanda. Dalam sepuluh tahun, orang-orang yang bisa baca-tulis telah meningkat menjadi lebih dari 80% dan sekolah-sekolah hampir ada di setiap desa.

Prinsip Pengelolaan Migas

Visi soal pengelolaan kekayaan alam termasuk migas sebenarnya termaktub dalam pasal 33 UUD 45, bahwa pengelolaan migas harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, Bung Karno banyak berfikir tentang cara mentransfer kepemilikan kekayaan alam dan perusahaan vital dari tangan asing ketangan rakyat Indonesia. Nasionalisme menjadi sentimen umum rakyat Indonesia setelah merdeka, segera setelah itu, tuntutan nasionalisasi perusahaan milik asing bergolak dimana-mana. Meskipun sudah merdeka, kepemilikan asing terhadap sektor pertambangan masih dominan, diperkuat dengan masih berlakunya Mining Law 1899, yang merupakan produk kolonial Belanda (Higgins 1990: 40)

Bung Karno menyadari, ekonomi nasional tidak akan tumbuh jikalau masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya. Tidak akan ada reorganisasi produksi, tidak akan ada industrialisasi, dan tidak akan ada kemakmuran bagi rakyat jikalau tidak ada kontrol terhadap kekayaan alam, tidak ada perusahaan negara yang mengelolah dan memasarkannya. Kita tidak anti asing (baca; investasi asing), tetapi investasi asing memiliki logikanya sendiri yang belum tentu sama dengan kepentingan pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada rakyat. Inilah prinsip ekonomi “berdikari” yang didengun-dengunkan oleh Bung Karno. Di bawah Bung Karno, kontrol terhadap migas beralih ketangan pemerintah Indonesia, setelah selama ratusan tahun berada dibawah penguasaan penjajah. Kendati perusahaan asing tetap mendapatkan ijin beroperasi tetapi mereka diwajibkan mengakui kedaulatan bangsa Indonesia terhadap kekayaan migas sampai kepada tempat penjualan (point of sale). Bung Karno selalu mengingatkan, janganlah kita sebagai “A Nation Among Coolie And Coolie Among Nation” (bangsa kuli atau menjadi kuli di tengah bangsa-bangsa lain).

Tata Pengelolaan Migas

Bersamaan dengan gelombang anti-imperialisme, beberapa kilang minyak yang pada awalnya berada dibawah kendali Shell, diambil alih oleh putera-putera Indonesia. Tahun 1956, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34/1956 yang memutuskan mengambil alih Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) dari tangan Sheel. Berikutnya, NV. Nederlands Indische Aardolie Maatschappij milik Belanda, diambil alih oleh pemerintah Indonesia, kemudian namanya berubah menjadi PT. PERMINDO (PERMIGAN). Pada saat itu, Ketika pemerintah membentuk tiga buah perusahaan negara (Permina, Pertamin, dan Permigan), ide yang terkandung di belakangnya adalah untuk mengarahkan masing-masing perusahaan pada bidang-bidang khusus dengan harapan dapat mengusai sektor hulu sampai hilir migas. Konsep ini diperkenalkan oleh Chaerul Saleh, Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan saat itu, bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan negara dari tiga sektor pelayanan secara sekaligus, yakni: eksplorasi, transportasi/distribusi, dan penyulingan.

Terhadap perusahaan asing, terutama “Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell), presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan membekukan konsesi bagi MNC dan memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960. UU ini menegaskan, “Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara.” Selain itu, presiden Soekarno menawarkan renegoisasi terhadap MNC dengan point-point sebagai berikut; pembagian keuntungan/laba (PSA) sebesar 60:40 (60% Indonesia dan 40 % asing), penyerahan area eksplorasi dan konsesi dalam batas waktu tertentu (5 sampai 10 tahun), MNC wajib memenuhi kebutuhan domestik dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah, serta menjual asset dan distribusi pemasaran setelah jangka waktu tertentu. Kesuksesan pengelolaan migas pada masa itu menjadi alasan diterimanya Indonesia bergabung dalam kelompok negara pengekspor minyak (OPEC), tahun 1962.

Keuntungan besar dari sektor migas, yang merupakan 25% dari total ekspor Indonesia, diinvestasikan besar-besaran pada sektor pendidikan dan perumahan rakyat. Bung Karno berfikiran, investasi besar-besaran pada sektor pendidikan jauh lebih menguntungkan dimasa depan ketimbang investasi di sektor yang menghasilkan profit.

Sumber : Rudi Hartono, Pengurus DPP PAPERNAS.

Tidak ada komentar: