Bumi Indonesiayangaku pijak kini begitu panas dan gersang. Indonesia sejuk, dengan semilir angin sepoi-sepoi dan nyiur melambai hanya tinggal nyayian rayuan Sang Kelana. Saat ini mata silau dengan kesilauan matahari yang kian menggigit. membakar penghuninya, Si Kholifah Bumi.
Bangka belitung, propinsi yang baru berusia delapan tahun itu adalah tempat kelahiranku. Tepatnya dipulau bangka aku dilahirkan. Kepulauan itu memang sejak dahulu kala terkenal dengan timahnya yang melimpah ruah. Sehingga ada yang menjulukinya atau hanya pengakuan dengan Kota Timah (Tertib, Indah, Menawan, Aman, Harmonis).
Bumi Bangka gersang dan bolong acak-acajkan. Itu pun pernah aku amati dari atas pesawat beberapa kali -saat mudik-
Menurut sejarah, konon penambangan itu terjadi sejak zaman kolonialisme dan imprealisme. Koran Kompas juga pernah menyoroti pulau penghasil Lada dan Timah tersebut beberapa bulan yang lalu. Bangkaku makin terpuruk dan gersang, bolongan bekas penambangan terlihat bagai padang pasir. Kerukan bekas penambangan yang tidak dipulihkan oleh sang pemilik memberi tanda kebiadaban dan keserakahan manusia terhadap Bumi. Tapi, semua karena Timah, harta karun yang banyak mengorbankan nyawa karena ratusan penambang liar-tradisional- terperosok ke lubang penambangan yang mereka gali sendiri. Lubang yang berbentuk botol memang mudah longsor. Mengeruk Bumi tanpa perasaan, persis dracula yang haus darah. Timah bagaikantete’ majikan yang selalu siap menggoda untuk disedot Tuyul.
Animo masyarakat membludak, meraup harta karun berwarna hitam itu, sehingga banyak orang kaya baru (OKB) disebabkan oleh Timah. Hanya orang tuaku yang setia dengan perahunya, masih konsisten dengan sebutan seorang nelayan.
Bumi kian tua, Bumi cukup merana dan tersiksa dengan tindak tanduk manusia. Fenomena diatas bisa memberi oposan untuk cinta kepada Bumi agar tak menggali makam sendiri. Kasihanilah Bumi Indonesia. Cintailah Tanah Air ini. Bumi subur rakyat makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar